Jumat, 24 Maret 2017


Hari Solidaritas Hijab Internasional ini adalah momentum yang tepat untuk berseru, muslimah punya kebebasan untuk memilih memakai jilbab di mana pun dan kapan pun — tapi muslimah pun seharusnya bebas untuk memilih tidak memakai jilbab di mana pun dan kapan pun.Saya tidak memakai jilbab dan tidak percaya jilbab wajib untuk muslimah. Alasannya sederhana: saya pikir jilbab tidak cocok dengan iklim Indonesia yang lembab. Adapun ayat-ayat Al Qur'an yang sering diklaim sebagai dasar kewajiban muslimah untuk berjilbab, sesungguhnya turun berdasar konteks pada zamannya, dan lebih menekankan pada kesopanan atawa, kalau mau nginggris, modesty.
Pendapat saya ini bisa dibilang tak sejalan dengan apa yang diyakini mayoritas orang, baik penganut Islam maupun bukan. Tidak jarang ada yang mendebat pendapat saya ini dengan mengatakan, "Mengaku muslimah kok pilih-pilih aturannya? Islam itu satu paket, semua perintahnya harus dituruti! Kamu tidak takut berdosa?”
Ketika saya sempat bersekolah di negara yang mayoritas penghuninya non muslim, bahkan banyak kawan mengira saya tidak beragama Islam. Saya percaya itu kesempatan yang bagus untuk menjelaskan beragamnya tafsir dalam Islam.
Pertama-tama, perlu diingat bahwa tidak ada otoritas tunggal dalam Islam. Bahwa Al Qur'an dan hadis jadi panduan utama, itu adalah keyakinan lazim bagi penganut Islam. Tetapi tiap ayat Al Qur'an dapat diberi banyak tafsir, tergantung mazhab yang diyakini, tergantung ulama yang diikuti, tergantung si muslimin atau muslimah memutuskan percaya tafsir yang mana.
Ada penganut Islam yang memilih penafsiran yang harfiah terhadap Al Qur'an, bahwa tiap ayatnya harus dibaca secara literal dan diterapkan saklek tanpa melihat konteks turunnya ayat tersebut. Saya memilih ada di kelompok yang percaya sebaliknya, bahwa konteks masa dan ruang turunnya suatu ayat perlu dijadikan patokan dalam tafsir.
Saya bukan ahli tafsir, dan pendapat saya pun dari waktu ke waktu berubah mengikuti apa yang saya baca, 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar